Kajian Zuhur Istiqlal, Adab Ihsan dalam Bertetangga sebagai Bentuk Kualitas Iman

Seorang Muslim menerapkan ajaran-ajaran Al-Adab Al-Mufrad ini agar mampu mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, dimulai dari lingkungan terdekatnya yaitu tetangga.

Share :
Kajian Zuhur Istiqlal, Adab Ihsan dalam Bertetangga sebagai Bentuk Kualitas Iman
Artikel

Jakarta, www.istiqlal.or.id - Membahas kitab monumental karya Imam Bukhari, yaitu Al- Adab Al-Mufrad yang berarti Kumpulan Adab, KH Masud Halimin, MA memaparkan pentingnya kedudukan bertetangga dalam kehidupan sosial sehingga mempengaruhi tingkat keimanan dan ketakwaan diri kepada Allah subhanahu wata’ala.

Hal tersebut disebutkan setidaknya dalam sepuluh hingga dua puluh hadis. Namun di sini, kita akan membahas dua hadis  mengenai wasiat dan etika dalam kehidupan bertetangga, di antaranya ialah sebagai berikut.

Anjuran Berbuat Ihsan Kepada Tetangga

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ.رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

Artinya: “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.”  (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Narasi مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ, umumnya bermakna “siapa yang ingin mencapai kualitas iman terbaik”. Dalam hadis disebutkan untuk berbuat kebaikan kepada tetangganya dengan tingkatan ihsan, yaitu kebaikan yang melampaui batas minimal. Ihsan adalah kebaikan yang melampaui standar khair atau kebaikan standar, dan makruf sebagai kebaikan sesuai dengan kondisi, waktu, dan proporsi. 

Berbuat baik kepada tetangga dengan tingkatan ihsan dianjurkan oleh nabi shallahu alaihi wa salam, karena dalam Islam, kita mengenal konsep muhsin, yaitu mereka yang menerapkan ihsan bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga mendorong dan menularkan kebaikan kepada orang di sekitarnya, serta memberikan kebaikan yang diterimanya kepada orang lain. 

“Kalau kita masih berpikir bagaimana saya mendapatkan kebaikan hanya untuk diri kita, kita belum ihsan. Kalau kita masih berpikir bagaimana saya menjadi orang yang saleh, tapi tidak berpikir bagaimana mengajak orang untuk berbuat kesalehan yang sama, kita belum ihsan. Kalau kita berpikir menjadi seorang hamba yang taat tapi cuek dengan perilaku orang lain, masa bodoh dengan keburukan orang lain, kita bukan seorang muhsin,” tambah KH. Masud.

Dikutip dari hadis Imam Bukhari tentang ihsan dalam bertetangga:

…وَمَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاْليَومِ الآخِرِ…

Artinya: “...Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia menyakiti tetangganya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Berbuat Baik Tidak Mengenal Agama dan Suku

Suatu waktu Abdullah bin Amr menyembelih kambing dan bertanya kepada anaknya, “Apakah kambing yang disembelih itu diberikan juga kepada tetangga kita yang Yahudi?” Pertanyaan itu diulang oleh Abdullah bin Amr, setelahnya ia menyebutkan bahwasannya saya mendengar Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا زَالَ يُوصِينِي جِبْرِيلُ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

Artinya: Nabi SAW beliau bersabda, “Jibril terus mewasiatkanku perihal tetangga. Hingga aku menyangka bahwa tetangga akan menjadi ahli waris.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Dari hadis tersebut diketahui bahwa dalam berbuat baik kepada tetangga juga tidak memandang suku dan agamanya, karena siapapun yang memiliki hubungan bertetangga itu mendapatkan perhatian yang besar dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam.

“Sebegitu tingginya posisi tetangga itu, dia (Jibril) bukan hanya sekedar memerintahkan berbuat baik kepada tetangga, tetapi Jibril mengatakan tetangga itu adalah wasiat bagi seorang yang bertetangga untuk berbuat baik kepada tetangganya,” Jelas KH. Mas’ud.

Berbuat Baik Secara Berjamaah

Islam juga mengajarkan bahwasannya ibadah-ibadah yang dilakukan sendirian itu tidak sama nilainya ketika kebaikan itu dilakukan secara bersama-sama, dan kita dianjurkan untuk mengajak orang lain berbuat saleh secara bersama-sama. Karena ibadah atau perbuatan yang dilakukan secara berjamaah akan mengangkat kualitas ibadah dan iman, serta memberi nilai pada amalan yang dilakukan di hadapan Allah subhanahu wata’ala. 

“Shalat fardhu sendirian dibanding shalat berjamaah, lebih tinggi shalatnya berjamaah, bukan karena shalatnya beda, tapi karena kehadiran orang lain bersama-sama dengan kita dalam kebaikan itu,” pungkas KH. Mas’ud.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ, الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ, الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙ, وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ

Artinya: Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat, (yaitu) yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberi) bantuan. (Al-Maun [107]:4-7)

Kajian ini diharapkan seorang Muslim menerapkan ajaran-ajaran Al-Adab Al-Mufrad ini agar mampu mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, dimulai dari lingkungan terdekatnya yaitu tetangga. Hal ini menjadi pengingat tegas bahwa keimanan sejati harus tercermin dalam interaksi sosial dan kepedulian terhadap sesama. (TANZA/ Humas dan Media Masjid Istiqlal)

Tags :

Related Posts: