Sejarah
SEJARAH BERDIRINYA MASJID ISTIQLAL
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, cita cita besar untuk membangun sebuah masjid yang dapat menjadi sebuah tempat kebanggan warga Jakarta sekaligus tempat untuk beribadah sudah mengendap di hati warga Indonesia. KH. Wahid Hasyim, Mentri Agama RI pertama dan beberapa Ulama mengusulkan untuk mendirikan Masjid yang mampu menjadi simbol bagi Indonesia. Pada tahun 1953, KH. Wahid Hasyim, selaku Mentri Agama RI pertama bersama H. Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto dan Ir. Sofwan dan dibantu sekitar 200 tokoh Islam pimpinan KH. Taufiqorrahman mengusulkan untuk mendirikan sebuah yayasan. Pada tanggal 7 Desember 1954 didirikanlah yayasan Masjid Istiqlal yang diketuai oleh H. Tjokroaminoto untuk mewujudkan ide pembangunan masjid nasional tersebut.
Masjid Istiqlal adalah masjid terbesar di Asia Tenggara. Masjid ini merupakan kebanggaan bangsa Indonesia, dan sebagai ungkapan dan wujud dari rasa syukur bangsa dan rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, atas berkat dan rahmat Allah SWT yang telah menganugerahkan nikmat kemerdekaan dari cengkraman penjajah selama kurang lebih 350 tahun. Maka dari itu masjid ini dinamakan "ISTIQLAL" yang artinya MERDEKA.
Ide pembangunan masjid tercetus setelah empat tahun proklamasi kemerdekaan. Pada tahun 1950, KH. Wahid Hasyim yang saat itu menjabat sebagai menteri agama RI dan H. Anwar Tjokroaminoto dan Partai Syarikat Islam mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh Islam mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh Islam di Deca Park, sebuah gedung pertemuan di jalan Merdeka Utara. Pertemuan tersebut dipimpin oleh KH. Taufiqurrahman yang membahas rencana pembangunan masjid. Masjid tersebut disepakati akan diberi nama Istiqlal. Secara harfiah, kata Istiqlal berasal dari bahasa arab yang berarti: kebebasan, lepas atau kemerdekaan, yang secara istilah menggambarkan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat berupa kemerdekaan bangsa.
Pada pertemuan di Gedung Deca Park, secara mufakat disepakati H. Anwar Tjokroaminoto sebagai ketua Yayasan Masjid Istiqlal. Beliau juga ditunjuk secara mufakat sebagai ketua panitia pembangunan Masjid Istiqlal. Pada tahun 1953, panitia pembangunan Masjid Istiqlal, melaporkan rencana pembangunan masjid itu kepada Presiden Soekarno, dan disambut baik rencana tersebut, bahkan akan membantu sepenuhnya pembangunan Masjid Istiqlal. Yayasan Masjid Istiqlal disahkan dihadapan notaris Elisa Pondag pada tanggal 7 Desember 1954.
Penentuan lokasi masjid terjadi perbedaan pendapat, Drs. H. Mohammad Hatta (Wakil Presiden RI) berpendapat bahwa lokasi yang paling tepat adalah di Jl. Moh. Husni Thamrin yang kini menjadi lokasi hotel Indonesia dengan pertimbangan lokasi tersebut berada di lingkungan masyarakat Muslim. Sementara Ir. Soekarno (Presiden RI) berpendapat lokasi pembangunan Masjid Istiqlal di Taman Wilhelmina, yang dibawahnya terdapat reruntuhan benteng Belanda dan dikelilingi oleh bangunan-bangunan pemerintah pusat-pusat perdagangan dan dekat dengan Istana Merdeka. Namun, setelah dillakukannya musyawarah akhirnya ditetapkan lokasi pembangunan Masjid Istiqlal di Taman Wilhelmina bekas benteng Belanda.
Sayembara Masjid Istiqlal memiliki dewan juri yang terdiri dari para Arsitek dan Ulama terkenal. Dewan juri tersebut adalah Presiden Soekarno sebagai ketua, dan anggotanya terdiri dari Ir. Roeseno, Ir. Djuanda, Ir. Suwardi, Ir. R. Ukar Bratakusumah, Rd. Soeratmoko, H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), H.Abu Bakar Aceh, dan Oemar Husein Amin. Sayembara tersebut mulai pada tanggal 22 Februari 1955 - 30 Mei 1955. Peminat pada sayembara tersebut mencapai 30 peserta ,dan 27 peserta yang menyerahkan sketsa dan maketnya, dan 22 peserta yang memenuhi persyaratan lomba. Lalu pada tanggal 5 Juli 1955 dewan juri menetapkan Fredrich Silaban sebagai pemenang pertama dengan design bersandi “Ketuhanan”, dan penetapan tersebut dilakukan di Istana merdeka.
Tujuh belas tahun kemudian, pembangunan Masjid Istiqlal selesai dibangun. Dimulai pada tanggal 24 Agustus 1961 dan diresmikan penggunaannya oleh Presiden Soeharto pada tanggal 22 Februari 1978, ditandai dengan prasasti yang dipasang di area tangga pintu As-Salam.