Sabar dan Syukur: Kunci Menjaga Iman hingga Husnul Khatimah
…
Jakarta, www.istiqlal.or.id - Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa mengingatkan hamba-hamba-Nya bahwa kehidupan di dunia ini memiliki batas. Setiap manusia pasti akan sampai pada ajalnya, dan apabila waktunya telah tiba, maka tidak dapat dimajukan ataupun ditunda walau sesaat.
Hal ini sebagaimana ditegaskan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya pada Surah Al-Hadid, Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā berfirman:
مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ
Artinya:Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauhulmahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah. (QS. Al-Ḥadīd:22)
Ayat ini menjadi pengingat bahwa segala yang terjadi dalam hidup kita, baik suka maupun duka, semuanya telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala jauh sebelum kita mengalaminya. Segala musibah yang menimpa manusia maupun yang terjadi di muka bumi sesungguhnya telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sejak sebelum penciptaan alam semesta. Hal ini menjadi pengingat bagi kita bahwa hidup di dunia tidak pernah lepas dari rangkaian ujian.
Tidak mengherankan jika para ulama menyebut dunia sebagai darul bala, yakni tempat ujian. Sayangnya, sering kali kita hanya menganggap ujian itu identik dengan sesuatu yang menyulitkan atau tidak menyenangkan. Padahal, kenikmatan, keuntungan, dan hal-hal yang menggembirakan pun sejatinya juga merupakan ujian dari Allah. Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
Artinya: Setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. Kami menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Kepada Kamilah kamu akan dikembalikan. (QS. Al-Anbiyā' :35)
Lalu bagaimana cara menyikapi ujian itu? Allah telah memberikan tuntunan dalam firman-Nya:
مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يُّؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ يَهْدِ قَلْبَهٗ ۗوَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
Artinya:Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah. Siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. At-Tagābun:11)
Dengan keyakinan ini, seorang mukmin akan selalu berusaha mengambil hikmah dari setiap peristiwa. Ujian justru akan menambah keimanan, menguatkan ketakwaan, serta melatih kita untuk selalu sabar dan bersyukur.
Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan beberapa istilah untuk menggambarkan ujian hidup yang diberikan kepada hamba-Nya.
Pertama, istilah al-imtihān (الامتحان) atau ujian. Hal ini misalnya dapat kita temukan dalam Surah Al-Hujurat dan Surah Al-Mumtahanah, yang menegaskan bahwa setiap ujian merupakan sarana penyaringan dan pembuktian keimanan seseorang.
Kedua, istilah balā’ (بلاء) yang terulang sebanyak enam kali dalam Al-Qur’an. Salah satu contohnya adalah kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalām ketika diperintahkan untuk menyembelih putranya, sebagaimana firman Allah: “Inna hādzā lahuwal-balā’ul-mubīn” (QS. As-Saffat: 106) — “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.”
Ketiga, istilah fitnah (فتنة) yang juga bermakna ujian. Kata ini muncul kurang lebih 33 kali dalam Al-Qur’an, di antaranya dalam firman Allah: “Wa’lamū annamā amwālukum wa awlādukum fitnah, wa annallāha ‘indahu ajrun ‘azhīm” (QS. Al-Anfal: 28 dan QS. At-Taghabun: 15) — “Ketahuilah, bahwa harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Keempat, istilah muṣībah (مصيبة) yang terulang sekitar 11 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini paling akrab di telinga kita, karena sering dikaitkan dengan musibah atau bencana yang menimpa manusia. Allah berfirman: “Alladzīna idhā aṣābat-hum muṣībah qālū innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” (QS. Al-Baqarah: 156) — “(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami kembali.”
Dengan demikian, terdapat empat istilah penting dalam Al-Qur’an yang menggambarkan ujian hidup: al-imtihān, balā’, fitnah, dan muṣībah. Semua ini menjadi pengingat bahwa kehidupan dunia adalah medan ujian yang harus dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan iman.
Ayyuhal hadirin rahimakumullāh, setiap kejadian yang Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā takdirkan pasti mengandung hikmah dan pelajaran berharga. Karena itu, sudah sepatutnya kita berusaha mengambil manfaat dari setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan.
Sebagaimana dilanjutkan dalam firman Allah pada Surah Al-Mumtahanah, orang yang diberi petunjuk oleh Allah akan menghadapi musibah dengan sikap yang benar. Nabi ﷺ bahkan jauh hari telah menyampaikan kabar gembira yang membanggakan tentang keadaan orang beriman. Mengapa demikian? Karena apabila seorang mukmin mendapatkan kebahagiaan atau kenikmatan, ia akan bersyukur.
Sebaliknya, apabila ia mengalami kesulitan atau sesuatu yang tidak menyenangkan, ia bersabar. Maka, baik syukur maupun sabar, keduanya sama-sama mendatangkan kebaikan bagi orang yang beriman kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā.
Oleh sebab itu, sikap pertama yang harus kita kedepankan ketika menghadapi musibah adalah iman. Selama iman kita tetap teguh, Allah akan meneguhkan hati kita di atas kebenaran. Di era sekarang, berbagai peristiwa dan musibah begitu cepat tersebar melalui kecanggihan media sosial. Hal ini pun merupakan bagian dari ujian bagi keimanan kita.
Ayat ini menggunakan istilah fitnah, yang dalam konteks Al-Qur’an juga bermakna ujian. Dengan demikian, setiap peristiwa, baik kesenangan maupun kesulitan, hakikatnya adalah sarana untuk menguji kualitas iman seorang hamba. Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā berfirman:
اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْٓا اَنْ يَّقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ
Artinya: Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji? (QS. Al-‘Ankabūt: 2)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap orang yang mengaku beriman pasti akan diuji oleh Allah. Tujuannya tidak lain adalah untuk membedakan siapa yang benar-benar beriman dengan tulus, dan siapa yang hanya mengucapkan iman di mulut belaka—yang dikenal sebagai sifat orang-orang munafik.
Karena itu, setiap peristiwa dalam hidup, baik yang menyenangkan maupun yang berat, harus kita maknai sebagai bagian dari ketentuan Allah. Dari setiap musibah maupun nikmat, kita dituntut untuk mengambil hikmah, dengan cara meningkatkan iman dan takwa kita. Rasulullah ﷺ pernah ditanya oleh seorang sahabat: “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab: “Para nabi, kemudian orang-orang saleh, lalu yang setara dengannya dan seterusnya.” (HR. Tirmidzi).
Hal ini menunjukkan bahwa ujian adalah sunnatullah yang pasti diberikan kepada setiap makhluk-Nya. Hanya saja, tidak semua orang menyadari atau mampu memahami ujian itu sebagai bentuk kasih sayang Allah.
Iman manusia sendiri memiliki beberapa tingkatan:
1. Iman yang selalu bertambah dan tidak pernah berkurang (yazīdu walā yanquṣ). Inilah imannya para nabi dan rasul (īmānul-anbiyā’ wal-mursalīn).
2. Iman yang tetap, tidak bertambah dan tidak berkurang (lā yazīdu walā yanquṣ). Inilah imannya para malaikat (īmānul-malā’ikah).
3. Iman yang tidak bertambah, tetapi terus berkurang (lā yazīdu wa yanquṣ). Inilah imannya orang-orang munafik (īmānul-munāfiqīn).
4. Iman yang bisa bertambah dan bisa berkurang (yazīdu wa yanquṣ). Inilah imannya kebanyakan manusia, termasuk kita.
Maka, ujian hidup yang kita alami sesungguhnya adalah sarana untuk memperkuat dan meningkatkan kualitas iman kita. Hamba Allah tingkatan iman yang keempat adalah mereka yang imannya kadang bertambah dan kadang berkurang. Dan inilah mayoritas manusia, termasuk kita. Namun yang perlu diwaspadai adalah jangan sampai iman itu terus-menerus berkurang (yanquṣ, yanquṣ, yanquṣ), hingga akhirnya melemah. Biasanya, ketika kita berada dalam keadaan yang menyenangkan atau membahagiakan, iman cenderung bertambah (yazīd).
Sebaliknya, saat menghadapi kesulitan atau kondisi yang menekan, iman kita bisa saja menurun. Karena itu Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā memberikan tuntunan sebagaimana firman-Nya:
مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يُّؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ يَهْدِ قَلْبَهٗ ۗوَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
Artinya:Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah. Siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. At-Taghābun: 11)
Ayat ini menegaskan, siapa saja yang tetap beriman kepada Allah, maka Allah akan meneguhkan hatinya, menuntunnya menuju kebenaran, hingga ia meninggalkan dunia dengan membawa hati yang selamat (qalbun salīm), insyaAllah. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk banyak membaca kisah-kisah yang Allah ceritakan dalam Al-Qur’an. Dari kisah-kisah itu kita dapat mengetahui siapa hamba-hamba Allah yang teguh imannya, dan siapa pula yang sebenarnya telah diberi petunjuk, namun tidak menjaganya sehingga kehilangan keimanan.
Memang ada pula hamba-hamba Allah yang kafir. Karena itu, di awal surah al-Baqarah, Allah sudah membagi manusia ke dalam tiga golongan: al-mu’minūn (orang-orang beriman), al-kāfirūn (orang-orang kafir), dan al-munāfiqūn (orang-orang munafik). Pertanyaannya, kita termasuk kelompok yang mana? Tentu kita semua berharap agar Allah meneguhkan kita dalam golongan orang-orang beriman. Selama Allah masih memberi kita kesempatan hidup, maka gunakanlah waktu sebaik-baiknya untuk memperbaiki iman dan amal.
Salah satu tolok ukur keimanan itu terlihat dari shalat Subuh berjamaah. Sebab, sebagaimana dikatakan Buya Hamka, “Kalau ingin melihat siapa yang benar-benar beriman, lihatlah jamaah shalat Subuh.” Sebab saat Idul Fitri atau Idul Adha, masjid selalu penuh, bahkan bisa melimpah ruah. Tetapi Subuh? Hanya sedikit yang hadir, karena memang berat bagi kebanyakan orang. Padahal, jika kita istiqamah menjaga shalat Subuh, insyaAllah itu menjadi tanda kesungguhan iman kita.
Diriwayatkan bahwa Ummul Mu’minin, ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā, menukil sabda Rasulullah ﷺ:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua rakaat (sunnah) sebelum Subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim)
Subhanallah, kalau begitu, apalagi yang masih kita cari? Kehidupan ini seharusnya kita awali dengan mencari rida Allah, menggapai rahmat-Nya, dan menyiapkan bekal terbaik untuk akhirat. Jika Subuh kita terjaga, insyaAllah Allah akan terus membimbing kita hingga akhir hayat dengan hati yang istiqamah.
Karena itu, sikap seorang mukmin ketika ditimpa musibah adalah bersabar. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ummu Salamah raḍiyallāhu ‘anhā, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, lalu ia mengucapkan:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ، اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا
Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali. Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibahku ini, dan gantikanlah bagiku dengan yang lebih baik darinya, melainkan Allah akan memberinya ganti yang lebih baik.” (HR. Muslim)
Inilah janji Allah. Musibah bukanlah akhir segalanya, justru menjadi jalan untuk menambah pahala dan mengangkat derajat, asalkan kita menghadapinya dengan iman dan kesabaran.
Dalam tuntunan Allah Subhanahu wa Ta‘ala melalui Rasul-Nya, seorang muslim yang ditimpa musibah diajarkan untuk mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un”. Kemudian ditambah dengan doa:
“Allahumma ajirni fi musibati wa akhlif li khairan minha” (Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibahku ini dan gantikanlah untukku dengan sesuatu yang lebih baik darinya).
Maka yakinlah, Allah Subhanahu wa Ta‘ala pasti akan mengganti apapun yang diambil-Nya dengan yang lebih baik. Inilah motivasi yang Allah dan Rasul-Nya ajarkan agar kita mampu menghadapi kehidupan ini. Dalam kondisi apapun—suka maupun duka—hendaknya kita selalu kembali kepada Allah. Dengan begitu, insyaAllah kita akan wafat dalam keadaan husnul khatimah.
Namun, Bapak-Ibu sekalian, jalan menuju husnul khatimah tidaklah mudah. Zaman sekarang penuh dengan fitnah yang dapat menggoyahkan iman kita. Akan tetapi, bila kita istiqamah beribadah, maka apapun yang menimpa kita akan menjadi kebaikan, asalkan kita mampu bersyukur dan bersabar.
Kuncinya ada dua:
• Jika mendapat nikmat, maka bersyukur.
• Jika ditimpa ujian, maka bersabar.
Dengan dua hal ini, insyaAllah kita akan menutup hidup dengan baik. Tetapi tentu saja, sikap ini perlu terus dilatih, meski jatuh bangun, sambil terus memohon pertolongan kepada Allah. Karena sesungguhnya, “Laa haula wa laa quwwata illa billah” – tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.
Hadirin yang berbahagia, inilah yang bisa saya sampaikan pada kesempatan subuh kali ini. Mudah-mudahan dapat kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita terus istiqamah meningkatkan amal ibadah, baik yang terkait dengan hubungan kepada sesama (hablum minannas) maupun hubungan kita dengan Allah (hablum minallah).
Sehingga kelak, saat ajal menjemput, kita dipanggil dengan penuh kemuliaan sebagaimana firman Allah dalam akhir Surah Al-Fajr. Demikianlah, saudara-saudaraku yang dirahmati Allah. Hidup ini tidak lepas dari ujian, nikmat maupun musibah. Kuncinya hanya dua: syukur ketika mendapat nikmat, dan sabar ketika ditimpa ujian. Dengan keduanya, insyaAllah kita dapat menjaga iman hingga akhir hayat, lalu wafat dalam keadaan husnul khatimah.
Mari kita senantiasa memperkuat iman, memperbanyak amal, menjaga istiqamah, serta terus berdoa memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Semoga kita semua diberi kekuatan menghadapi kehidupan ini, dimatikan dalam keadaan baik, dan dikumpulkan kelak dalam surga-Nya yang penuh rahmat. (DHILLA/Humas dan Media Masjid Istiqlal)