Kajian Hawamisy Istiqlal: Janganlah Berbuat Zalim Walau Hanya Sejengkal Tanah
kezaliman akan menjadi beban yang memberatkan, menjadi kegelapan yang menyesakkan pada hari kiamat, ketika manusia sangat membutuhkan cahaya untuk meniti shirath.
Oleh: KH Bukhori Sail Attahiri
Jakarta, www.istiqlal.or.id - Kezaliman bukan hanya dilakukan oleh para pejabat atau penguasa, tetapi juga dapat dilakukan oleh orang biasa, bahkan mereka yang tergolong lemah. Sering kali, kita sebagai rakyat tidak menyadari atau bahkan tidak peduli bahwa kita berbuat zalim kepada orang lain.
Kezaliman dapat terjadi di mana saja: fil-ardhi wal-hawa wal-bihar (di darat, di udara, dan di laut). Kehidupan kita tidak akan pernah benar-benar tenang, dan tidak akan pernah kokoh berdiri di atas pondasi yang kuat, kecuali jika kita mampu menjauh dari segala bentuk kezaliman.
Tenang di sini bukan sekadar diam atau tidak ada masalah, melainkan tenang dengan wibawa (wiqār) yaitu ketenteraman batin yang penuh damai dan sejahtera. Kedamaian itu tidak akan hadir selama kita masih melakukan atau membiarkan kezaliman, sekecil apa pun bentuknya.
Karena itu, Rasulullah ﷺ telah mengingatkan kita dalam sebuah hadis Qudsi yang agung. Allah ﷻ berfirman:
يَا عِبَادِي، إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku, dan Aku jadikan kezaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan betapa sucinya Allah dari segala sifat zalim. Kezaliman mustahil terjadi pada-Nya karena Allah adalah Maha Adil dan Maha Suci dari segala kekurangan.
Bahkan, bukan hanya Allah mengharamkan kezaliman atas diri-Nya sendiri, tetapi Dia juga mengharamkan kita untuk menzhalimi sesama. Maka, janganlah sekali-kali kita berbuat zalim baik dengan ucapan, perbuatan, atau kebijakan yang merugikan orang lain.
Secara bahasa, zalim berarti meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Dalam pengertian syariat, zalim adalah tindakan menempatkan hak, kewajiban, atau posisi seseorang tidak sesuai dengan kapasitas dan kedudukannya.
Misalnya, orang yang alim yang memiliki ilmu mendalam tentang agama justru ditempatkan pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan ilmunya, sehingga ilmunya tidak bermanfaat. Atau seseorang yang ahli di bidang bangunan, malah diberi tugas di bidang yang sama sekali tidak berhubungan dengan keahliannya.
Bahkan ketika kita menempatkan diri kita sendiri pada sesuatu yang tidak sesuai dengan kapasitas dan amanah kita, itu juga termasuk zalim yakni zalim kepada diri sendiri.
Allah ﷻ sebelum melarang manusia untuk berbuat zalim, terlebih dahulu mengharamkan kezaliman atas diri-Nya sendiri. Padahal Allah Mahakuasa, jika Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata "Kun" (jadilah), maka terjadilah sesuatu itu tanpa kesulitan apa pun.
Namun, meskipun Allah mampu melakukan segala sesuatu, Dia tidak mungkin berbuat zalim. Maka, bagaimana mungkin kita sebagai hamba yang lemah justru berani berbuat zalim?
Kezaliman itu sendiri adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Salah satu bentuk kezaliman yang paling sering terjadi di dunia ini, termasuk di negeri kita, adalah atta‘addi ‘ala hududil ard melampaui atau mengubah batas tanah.
Contohnya, seseorang sengaja memperlebar batas tanahnya dengan mengambil tanah milik orang lain, memindahkan patok batas, atau merebut tanah warisan yang bukan haknya. Perbuatan seperti ini sangat tercela di mata Allah.
Rasulullah ﷺ telah memperingatkan dalam hadisnya:
مَنْ ظَلَمَ مِنَ الْأَرْضِ شَيْئًا
"Barang siapa yang berbuat zalim dengan mengambil sejengkal tanah..." (HR. Bukhari dan Muslim, dari Sa‘id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu) Hadis ini dilanjutkan dengan ancaman keras bahwa pada hari kiamat, orang tersebut akan dibebani dengan tanah yang diambilnya itu sampai tujuh lapis bumi. Ini menunjukkan betapa besar dosa kezaliman, bahkan meski hanya sejengkal tanah.
Zalim secara sederhana berarti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, itu bisa berarti menempatkan seseorang yang seharusnya berada pada posisi tertentu sesuai keahliannya, justru dipindahkan ke tempat yang tidak sesuai, sehingga ilmunya tidak bermanfaat. Itu adalah bentuk kezaliman kepada orang lain.
Begitu pula, jika kita memposisikan diri kita di luar kapasitas yang kita miliki, itu adalah bentuk kezaliman kepada diri sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta'ala bahkan telah mengharamkan kezaliman bagi Diri-Nya sendiri, padahal Dia Mahakuasa dan Mahamampu untuk melakukan apa saja. Allah berfirman, “Kun, fayakun” jadilah, maka terjadilah.
Namun, dengan kekuasaan yang tanpa batas itu pun, Allah tidak berbuat zalim. Maka, bagaimana dengan kita yang lemah dan penuh keterbatasan? Bukankah lebih berpotensi untuk tergelincir dalam perbuatan zalim jika tidak berhati-hati?
Salah satu bentuk kezaliman yang paling sering terjadi di dunia, termasuk di negeri kita, adalah kezaliman dalam masalah tanah. Ini bisa berupa memperluas batas tanah melebihi hak kita, mengambil tanah warisan lebih dari bagian yang seharusnya, atau memindahkan patok batas sawah dan kebun secara diam-diam hingga tanah tetangga semakin sempit.
Rasulullah ﷺ telah memperingatkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sa‘id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu: "Barang siapa yang mengambil sejengkal tanah orang lain secara zalim, maka akan dikalungkan kepadanya tanah itu dari tujuh lapis bumi pada hari kiamat."
Bayangkan, tanah yang kita ambil secara tidak sah itu akan menjadi beban di leher kita kelak di hadapan Allah. Di dunia, kita mungkin merasa menang karena memegang sertifikat atau merasa tidak ada yang tahu.
Namun, di akhirat, tidak ada sertifikat yang bisa membela kita. Beban itu akan seperti kalung yang menjerat leher, seberat tujuh lapis bumi. Baru membawa beban beberapa kilogram saja kita sudah kesulitan, apalagi membawa tujuh lapis bumi!
Karena itu, hendaknya kita berhati-hati. Jangan sampai kita mengambil hak orang lain walaupun hanya satu meter. Permusuhan di masyarakat seringkali bermula dari sengketa tanah, bahkan antar saudara, antar tetangga, hingga antar RT.
Padahal yang diperebutkan hanyalah ukuran yang tidak seberapa, namun efeknya bisa merusak hubungan persaudaraan dan memutus silaturahmi.
Hakikatnya, tanah yang kita ambil secara zalim itu di dunia manfaatnya kecil, tetapi di akhirat bebannya sangat berat. Tidak ada yang bisa menolong kita dari azab-Nya.
Semua bentuk kezaliman bukan hanya masalah tanah akan dibebankan kepada kita di hadapan Allah. Sebagaimana firman-Nya, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: Al-Isrā' [17]:13,
وَكُلَّ اِنْسَانٍ اَلْزَمْنٰهُ طٰۤىِٕرَهٗ فِيْ عُنُقِهٖۗ وَنُخْرِجُ لَهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ كِتٰبًا يَّلْقٰىهُ مَنْشُوْرًا
Artina: Setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya. Pada hari Kiamat Kami keluarkan baginya sebuah kitab yang dia terima dalam keadaan terbuka.
Beban dosa itu akan menjerat kita, dan sekuat-kuatnya manusia, tidak akan sanggup memikulnya. Maka, jagalah diri dari perbuatan zalim sekecil apa pun, karena setiap hak yang kita rampas akan kembali menuntut kita di hadapan Allah pada hari kiamat.
وَمِنَ الآثَارِ السَّيِّئَةِ لِلظُّلْمِ أَنَّهُ يَجْعَلُ صَاحِبَهُ فِي ظُلُمَاتٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَهْتَدِي إِلَى سَبِيلٍ بِسَبَبِ ظُلْمِهِ فِي الدُّنْيَا
Artinya:"Di antara akibat buruk dari perbuatan zalim adalah bahwa ia akan menempatkan pelakunya di dalam kegelapan pada hari kiamat, sehingga ia tidak mampu menemukan jalan (keselamatan) akibat kezaliman yang ia lakukan di dunia."
Makna ini selaras dengan sabda Rasulullah ﷺ:
الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Kezaliman adalah kegelapan-kegelapan pada hari kiamat." (HR. Bukhari dan Muslim)
Kegelapan yang dimaksud bukan hanya hilangnya cahaya secara fisik, tetapi juga hilangnya petunjuk, kebingungan, dan tersesatnya seorang hamba pada hari itu.
Pelaku zalim akan kehilangan cahaya yang semestinya menuntunnya menuju surga, sebagaimana orang beriman akan mendapat cahaya karena amal baiknya.
Kegelapan di sini bukan sekadar gelap secara fisik, tetapi gelap yang membuat pelakunya kehilangan arah dan petunjuk. Di akhirat kelak, seorang yang selama di dunia gemar berbuat zalim akan berada dalam kegelapan yang pekat, sehingga ia tidak mampu menemukan jalan keselamatan. Hal ini terjadi karena dosa-dosa kezaliman yang ia lakukan telah menutupi cahaya amalnya.
Berbeda halnya dengan seorang mukmin yang menjaga dirinya dari perbuatan zalim di dunia. Iman yang kuat dan sikap hati-hati terhadap hak orang lain akan menjadi cahaya baginya kelak di hari kiamat. Allah menggambarkan keadaan mereka dalam firman-Nya:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: At-taḥrīm [66]:8
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا تُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ تَوْبَةً نَّصُوْحًاۗ عَسٰى رَبُّكُمْ اَنْ يُّكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۙ يَوْمَ لَا يُخْزِى اللّٰهُ النَّبِيَّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗۚ نُوْرُهُمْ يَسْعٰى بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَبِاَيْمَانِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَآ اَتْمِمْ لَنَا نُوْرَنَا وَاغْفِرْ لَنَاۚ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. Mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya. Cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanannya. Mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Cahaya itu menjadi petunjuk yang menuntun mereka menuju surga. Maka siapa pun yang pernah berbuat zalim kepada orang lain, hendaknya segera meminta maaf atau mengembalikan hak tersebut di dunia ini sebelum datang hari di mana harta dan kedudukan tidak lagi berguna, dan penyesalan tidak ada manfaatnya.
Karena itu, jika kita pernah berbuat zalim kepada orang lain entah berupa tanah, harta, atau hak apapun maka hendaknya kita meminta kehalalan dan menyelesaikannya di dunia. Mengembalikan hak, mengganti kerugian, atau meminta maaf adalah cara untuk membersihkannya. Sebab, di akhirat nanti, pembayaran dilakukan dengan amal kebaikan kita.
Rasulullah ﷺ mengingatkan:
"Barangsiapa mengambil hak saudaranya, maka hendaklah ia meminta dihalalkan hari ini, sebelum datang hari di mana tidak ada dinar dan dirham, melainkan (dibayar) dengan kebaikan. Jika ia tidak punya kebaikan, maka keburukan orang yang dizaliminya akan ditimpakan kepadanya." (HR. Bukhari)
Seorang muslim sejati adalah yang membuat muslim lainnya aman dari gangguan lisan dan tangannya. Gangguan lisan seperti fitnah, ujaran yang merugikan, atau membuat hak orang masuk ke kita lewat tipu kata. Gangguan tangan seperti memanfaatkan kekuasaan untuk mengambil hak orang lain.
Sayangnya, dalam kehidupan sosial, kezaliman sering dianggap benar karena dibungkus kekuasaan. Padahal, itu akan menjadi beban berat di akhirat. Oleh sebab itu, kita perlu waspada dan berupaya menjauh darinya. Semua ini semata-mata untuk menyelamatkan diri kita di dunia dan akhirat.
Saudaraku, kezaliman bukan sekadar mengambil hak orang lain atau menindas yang lemah, tetapi setiap sikap dan perbuatan yang keluar dari kebenaran dan keadilan termasuk di dalamnya. Di dunia, pelaku zalim mungkin bisa bersembunyi di balik kekuasaan, harta, atau tipu daya, namun di hadapan Allah tidak ada satu pun yang tersembunyi.
Ingatlah, kezaliman akan menjadi beban yang memberatkan kita, menjadi kegelapan yang menyesakkan pada hari kiamat, ketika manusia sangat membutuhkan cahaya untuk meniti shirath.
Karena itu, bersihkan hati dari keserakahan, luruskan niat dalam bermuamalah, dan kembalikan setiap hak kepada pemiliknya sebelum kita dipanggil untuk mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah ﷻ.
Semoga Allah menjaga kita dari segala bentuk kezaliman, baik yang kita sadari maupun yang tidak, dan memberikan kita cahaya yang menerangi langkah di dunia hingga akhirat. (DHILA/Humas dan Media Masjid Istiqlal)
sumber: https://www.youtube.com/live/Lx7ShWk26J0?si=bD-n_ct98QPkHFvQ