Khutbah Jumat Istiqlal: Ilmu Dan Peradaban, Visi Qurani Menuju Indonesia Emas 2045
Tujuan tertinggi ilmu adalah mendekatkan manusia kepada Allah, menegakkan keadilan, serta menghadirkan kemaslahatan bagi semesta.
(Intisari Khutbah Jum’at, 24 Oktober 2025 M / 02 Jumadil Ula 1447 H)
Oleh : Dr. H. Yusnar Yusuf, Ph.D, MS
(Ketua Dewan Pertimbangan Pengurus Besar Alwashliyah dan Ketua MUI Bidang Kerukunan)
Jakarta, www.istiqlal.or.id - Hadirin sidang Jumat yang dirahmati Allah. Indonesia bercita-cita untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, seratus tahun kemerdekaan dengan visi menjadi bangsa yang maju, berdaulat, adil, dan makmur. Cita-cita tersebut menuntut fondasi pembangunan yang tidak hanya bersifat material, tetapi juga spiritual dan kultural.
Sejarah membuktikan bahwa peradaban besar dunia lahir dari integrasi antara ilmu, iman, dan nilai moral yang kokoh. Pada konteks Islam, integrasi ilmu dan iman telah menjadi kunci kejayaan peradaban. Pada masa keemasan Islam, ilmu pengetahuan berkembang pesat dan melahirkan berbagai inovasi dalam bidang kedokteran, astronomi, matematika, filsafat, dan seni.
Namun, perkembangan tersebut tidak lepas dari ruh spiritual yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Para ulama dan ilmuwan Muslim meyakini bahwa ilmu adalah bagian dari ibadah dan sarana untuk mengenal kebesaran Allah. Dengan demikian, peradaban Islam kala itu mampu menjaga keseimbangan antara kemajuan intelektual dan keluhuran akhlak.
Sebaliknya, peradaban modern lebih bertumpu pada sains dan teknologi sering kehilangan arah moral. Industrialisasi yang tidak terkendali memunculkan kerusakan lingkungan, kesenjangan sosial, dan krisis kemanusiaan.
Ilmu yang lepas dari iman justru berpotensi membawa pada kehancuran, sebagaimana terlihat pada lahirnya senjata pemusnah massal, praktik kolonialisme ekonomi, hingga dehumanisasi, ini menjadi pelajaran penting bagi Indonesia agar tidak hanya meniru pola modernisasi Barat, namun juga membangun paradigma pembangunan yang sesuai dengan visi Qur’ani.
Al-Qur’an menegaskan pentingnya membaca, berpikir, dan meneliti, namun tetap dalam bingkai keimanan: Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ
Artinya: "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan!" (QS. Al-‘Alaq: 1).
Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu harus selalu terikat pada nilai ketuhanan agar menghasilkan peradaban yang adil dan berkelanjutan.
Demikian pula, ayat lain menekankan keseimbangan (QS. Al-Baqarah: 143), keadilan (QS. An-Nahl: 90), dan kemaslahatan umat manusia (QS. Al-Anbiya: 107).
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan40) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitulmaqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS. Al-Baqarah [2]:143)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat. (QS. An-Naḥl [16]:90)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
"Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam." (QS. Al-Anbiyā' [21]:107)
Dalam konteks ke-Indonesia-an, integrasi ilmu, iman, dan peradaban menjadi relevan karena bangsa ini berdiri di atas keberagaman budaya, agama, dan tradisi. Pancasila sebagai dasar negara juga mengandung nilai integratif yang selaras dengan visi Qur’ani, yakni pengakuan terhadap Ketuhanan, penghormatan terhadap kemanusiaan, dan pembangunan masyarakat yang adil dan beradab.
Dengan demikian, Indonesia memiliki modal ideologis sekaligus spiritual untuk menghadirkan model peradaban alternatif yang membumi sekaligus mendunia.
Ilmu Pilar Kemajuan Bangsa
Ilmu pengetahuan adalah fondasi utama bagi terbangunnya sebuah bangsa yang besar. Al-Qur’an menegaskan bahwa derajat manusia diangkat karena iman dan ilmu, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Mujadilah ayat 11: “Allah akan meninggikan orangorang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Ayat ini memperlihatkan hubungan erat antara iman dan ilmu sebagai dua hal yang saling melengkapi. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni perintah “Iqra’ bismi rabbik” (QS. Al-‘Alaq: 1), juga menunjukkan bahwa aktivitas intelektual tidak boleh dipisahkan dari kesadaran ketuhanan.
Membaca, meneliti, dan mengembangkan ilmu harus senantiasa dikaitkan dengan nama Allah, sehingga ilmu tidak menjadi kering dari nilai spiritual. Sejarah peradaban Islam memberikan teladan yang sangat jelas.
Pada masa Abbasiyah, berdirinya Bayt al-Hikmah di Baghdad menjadi pusat penerjemahan, kajian, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Para ilmuwan Muslim seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Biruni, dan Ibnu Khaldun melahirkan teori-teori besar yang tidak hanya memajukan dunia Islam, tetapi juga menjadi fondasi bagi kemajuan Eropa melalui Renaisans. Kejayaan tersebut lahir karena ilmu diposisikan bukan sekadar alat material, melainkan sebagai jalan menuju pengabdian kepada Allah dan kesejahteraan umat manusia.
Bagi Indonesia, ilmu memiliki peran strategis dalam menyongsong Indonesia Emas 2045. Di era globalisasi dan revolusi industri 4.0, penguasaan sains, teknologi, dan inovasi menjadi syarat mutlak bagi daya saing bangsa. Ekonomi dunia kini bertumpu pada knowledgebased economy, di mana inovasi digital, kecerdasan buatan, energi terbarukan, dan bioteknologi menentukan posisi suatu bangsa dalam peta global.
Indonesia dengan bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2030–2045 memiliki peluang besar untuk menjadi kekuatan baru, asalkan generasi mudanya dipersiapkan dengan penguasaan ilmu yang mumpuni.
Ilmu juga merupakan instrumen penting dalam memperkuat kedaulatan bangsa. Negara yang lemah dalam ilmu pengetahuan akan selalu bergantung pada bangsa lain dalam hal teknologi, industri, dan informasi. Di samping itu, ilmu berfungsi sebagai penopang keadilan sosial.
Dengan pemanfaatan ilmu, pemerataan pendidikan dapat diwujudkan melalui teknologi digital; pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan melalui inovasi medis; dan tata kelola pemerintahan dapat menjadi lebih transparan dengan sistem berbasis data dan teknologi informasi Lebih jauh lagi, ilmu menjadi instrumen penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Perubahan iklim, kerusakan hutan, dan polusi merupakan tantangan serius yang harus dihadapi Indonesia.
Dalam perspektif Qur’ani, manusia diangkat sebagai khalifah di bumi dengan tugas menjaga keseimbangan ciptaan Allah. Tanpa ilmu, tugas kekhalifahan ini mustahil dijalankan. Oleh karena itu, riset tentang energi ramah lingkungan, teknologi hijau, dan manajemen sumber daya alam harus diarahkan untuk menjaga bumi bagi generasi mendatang.
Namun, sejarah modern juga memperingatkan bahwa ilmu yang dilepaskan dari nilai-nilai iman justru dapat membawa malapetaka. Senjata pemusnah massal, eksploitasi alam tanpa batas, dan dehumanisasi akibat teknologi yang tidak beretika adalah bukti nyata bahwa ilmu yang bebas nilai bisa menjadi bumerang bagi umat manusia.
Maka, visi Qur’ani menuntut agar ilmu ditempatkan sebagai sarana, bukan tujuan akhir. Tujuan tertinggi ilmu adalah mendekatkan manusia kepada Allah, menegakkan keadilan, serta menghadirkan kemaslahatan bagi semesta.
Sejarah peradaban Islam menunjukkan bahwa integrasi iman dan ilmu melahirkan kejayaan yang berkelanjutan. Para ilmuwan Muslim klasik seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, dan Al-Biruni menempatkan iman sebagai dasar riset ilmiah mereka. Mereka memandang penelitian terhadap alam semesta sebagai bentuk tafakkur dan tadabbur terhadap ayat-ayat kauniyah Allah.
Dengan demikian, iman tidak menghambat perkembangan ilmu, justru memperkuat motivasi untuk mengeksplorasi alam, sebab setiap temuan ilmiah memperdalam rasa takjub kepada Sang Pencipta. Integrasi inilah yang melahirkan peradaban maju, etis, dan bermanfaat bagi manusia.
Sebaliknya, peradaban modern yang mengabaikan iman justru menghadirkan paradoks. Sains dan teknologi Barat memang menghasilkan revolusi industri, transportasi, komunikasi, dan digitalisasi, tetapi pada saat yang sama juga melahirkan dehumanisasi, kolonialisme, ketidakadilan ekonomi, degradasi lingkungan, hingga krisis moral.
Perang Dunia, pemanasan global, kerusakan ekosistem, hingga lahirnya “manusia digital” yang terasing dari nilai spiritual adalah bukti nyata bagaimana ilmu tanpa iman kehilangan arah. Fenomena ini selaras dengan firman Allah dalam QS. Al-Rum ayat 41 bahwa kerusakan di darat dan laut adalah akibat ulah tangan manusia.
Dalam konteks Indonesia menuju 2045, iman harus menjadi filter utama dalam mengarahkan pemanfaatan ilmu. Generasi emas yang diharapkan tidak hanya unggul dalam literasi sains dan teknologi, tetapi juga memiliki landasan keimanan yang kokoh.
Pendidikan nasional perlu menanamkan kesadaran bahwa ilmu harus digunakan untuk menegakkan keadilan sosial, menghapus kemiskinan, menjaga keberlanjutan lingkungan, serta memperkokoh persatuan bangsa. Dengan iman, riset dan inovasi tidak semata diarahkan pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada pembangunan manusia seutuhnya yang sehat, berakhlak, dan berdaya saing global.
Lebih jauh lagi, iman berfungsi sebagai energi motivasional dalam menuntut ilmu. Bagi seorang Muslim, ilmu bukan hanya sarana memperoleh penghidupan, melainkan juga jalan menuju ridha Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjanjikan jalan menuju surga bagi siapa yang menempuh jalan menuntut ilmu (HR. Muslim).
Keyakinan ini menumbuhkan etos belajar yang tinggi sekaligus membentuk karakter intelektual yang rendah hati. Dengan iman, seorang ilmuwan tidak akan terjebak pada arogansi akademik, melainkan menyadari keterbatasan dirinya di hadapan Allah.
Dengan demikian, iman adalah ruh yang menghidupkan ilmu, sekaligus pagar yang melindungi ilmu dari penyimpangan. Integrasi keduanya akan melahirkan paradigma pembangunan Indonesia Emas 2045 yang berbasis pada ilmu pengetahuan modern, tetapi tetap berakar pada nilai-nilai ilahiah.
Bangsa Indonesia yang berilmu dan beriman akan mampu membangun peradaban yang maju, adil, berkelanjutan, serta memberi kontribusi nyata bagi tatanan dunia yang lebih damai dan manusiawi.
Peradaban sebagai Buah Integrasi Ilmu dan Iman
Peradaban adalah puncak capaian manusia dalam mengelola ilmu, iman, dan amal secara kolektif. Sebuah masyarakat dapat disebut berperadaban bukan hanya karena memiliki pencapaian teknologi atau ekonomi, tetapi juga karena mampu menyeimbangkan aspek material dengan nilai-nilai spiritual.
Peradaban Qur’ani adalah peradaban yang berakar pada tauhid, bernafas dengan iman, dan berbuah pada kemaslahatan. Ia menempatkan manusia sebagai khalifah di bumi yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan kehidupan.
Dalam kerangka ini, integrasi ilmu dan iman melahirkan peradaban yang tidak hanya kuat secara fisik dan material, tetapi juga luhur dalam akhlak, adil dalam hukum, serta berorientasi pada keberlanjutan dan kesejahteraan umat manusia.
Sejarah membuktikan bahwa ketika ilmu dan iman dipadukan, lahirlah peradaban yang agung. Pada masa keemasan Islam, para ulama, cendekiawan, dan pemimpin mampu menjadikan iman sebagai ruh bagi ilmu.
Baghdad dengan Bayt al-Hikmah, Cordoba dengan perpustakaannya, serta Kairo dengan Al-Azhar adalah contoh bagaimana ilmu dan iman berjalan seiring. Inovasi dalam kedokteran, astronomi, filsafat, dan matematika lahir bersamaan dengan perkembangan seni, sastra, dan spiritualitas.
Peradaban Islam kala itu bukan hanya menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga mengajarkan etika, keadilan, dan toleransi yang membentuk tatanan sosial yang harmonis. Inilah bukti bahwa integrasi ilmu dan iman bukan utopia, melainkan realitas sejarah yang pernah menjadi pusat cahaya dunia.
Hadirin yang berbahagia. Visi Qur’ani adalah pandangan hidup yang menjadikan AlQur’an sebagai sumber petunjuk, cahaya, dan pedoman dalam membangun ilmu, memperkuat iman, dan menata peradaban. AlQur’an bukan hanya kitab suci yang dibaca secara ritual, tetapi juga kitab peradaban (kitab al-hadharah) yang mengajarkan prinsip-prinsip dasar dalam mengelola kehidupan manusia, baik dalam ranah spiritual, intelektual, sosial, politik, ekonomi, maupun budaya.
Dalam konteks Indonesia Emas 2045, visi Qur’ani berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai kompas moral dan epistemologis untuk mengarahkan pembangunan bangsa.
Pertama, visi Qur’ani menegaskan pentingnya ilmu sebagai cahaya peradaban. Allah berfirman dalam QS. Az-Zumar: 9, “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Ayat ini menekankan bahwa ilmu adalah pembeda kualitas manusia dan menjadi syarat mutlak lahirnya masyarakat berperadaban tinggi.
Kedua, visi Qur’ani menekankan iman sebagai pondasi moral pembangunan. Iman dalam Al-Qur’an tidak berhenti pada aspek keyakinan, melainkan harus berbuah amal saleh dan peradaban yang bermakna.
QS. Ibrahim: 24-25 menggambarkan iman seperti pohon yang baik: akarnya kuat, cabangnya menjulang ke langit, dan buahnya selalu ada setiap waktu.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
اَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ اَصْلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرْعُهَا فِى السَّمَاۤءِۙ (24) تُؤْتِيْٓ اُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ ۢبِاِذْنِ رَبِّهَاۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ (25)
Artinya: Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah ṭayyibah?386) (Perumpamaannya) seperti pohon yang baik, akarnya kuat, cabangnya (menjulang) ke langit, dan menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan untuk manusia agar mereka mengambil pelajaran." (QS. Ibrāhīm [14]:24-25)
Ketiga, visi Qur’ani menempatkan peradaban sebagai puncak integrasi ilmu dan iman. QS. Al-Anbiya: 107 menegaskan bahwa risalah Islam adalah rahmatan lil ‘alamin rahmat bagi seluruh alam. Peradaban Qur’ani adalah peradaban yang mengedepankan keadilan, perdamaian, kesetaraan, dan penghormatan terhadap keberagaman.
Keempat, visi Qur’ani mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat. QS. Al-Qashash: 77 mengingatkan: “Carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia...”.
Kelima, visi Qur’ani menuntut tegaknya keadilan dan kemaslahatan sebagai inti peradaban. QS. An-Nisa: 135 memerintahkan agar manusia menegakkan keadilan sekalipun terhadap diri sendiri atau kerabat.
Integrasi ilmu, iman, dan peradaban dengan visi Qur’ani merupakan jalan strategis dan fundamental dalam mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045. Latar belakang sejarah, realitas global, serta tantangan zaman menuntut Indonesia tidak hanya berfokus pada pembangunan material, tetapi juga pada penguatan spiritual, moral, dan peradaban.
Visi Qur’ani mengajarkan bahwa kemajuan sejati hanya tercapai bila ilmu dipandu oleh iman, dan iman diwujudkan dalam peradaban yang membawa kemaslahatan. Dengan demikian, Indonesia Emas 2045 bukan hanya cita-cita politik atau ekonomi, melainkan sebuah proyek peradaban Qur’ani yang menampilkan wajah Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Integrasi ilmu, iman, dan peradaban yang dipandu visi Qur’ani akan memastikan bahwa Indonesia berdiri kokoh sebagai bangsa yang maju, berdaulat, bermartabat, dan mampu memberikan kontribusi nyata bagi perdamaian serta kesejahteraan.

Indonesia
Arabic




.png)
.png)

