Takbiratul Ihram: Menghadap Allah Bukan Hanya Fisik, tapi Juga Jiwa
Tidak layak bagi kita merasa lebih baik hanya karena jabatan atau kedudukan. Takbiratul ihram mengajarkan kita untuk memandang setiap orang sama di hadapan Allah subhanahu wata’ala.
Jakarta, www.istiqlal.or.id - Imam Ibnu Qayyim Aljauziyah mengatakan bahwa selain kita diminta untuk menghadapkan diri kita ke arah kiblat, أَسْتَقْبِلَ القِبْلَةَ بِوَجْهِي, menghadapkan seluruh totalitas diri kita ke arah kiblat dalam melaksanakan ibadah shalat, kita juga diminta untuk menghadapkan hati kita kepada Allah Subhanahu wa ta'ala.
KH Mas’ud Halimin dalam Kajian Hawamisy saat membahas kitab Asrorus Sholat, memaparkan bahwasanya bukan hanya fisiknya yang menghadap kepada Allah, tetapi juga hatinya yang menghadap kepada Allah subhanahu wa taala. Mengapa kehadiran kalbu itu penting? Karena dengan menghadirkan hati kita itu kita akan terhindar dari hal-hal yang bisa membuat kita itu berpaling atau terhalang dari Allah Subhanahu wa taala.
Maka kata Imam Ibnu Qayyim, يَنْصَلِحَ مِمَّا كَانَ فِيهِ مِنَ التَّوَلِّي وَالإِعْرَاضِ
Artinya: “Menghadap dengan hati akan membersihkan kita dari sikap berpaling (tawalli) dan ketidakpedulian (i’radh) terhadap Allah.
Shalat menjadi titik balik seseorang dari kelalaian menuju kesadaran ruhani. Sebelum takbiratul ihram, kita menghadapkan tubuh dan hati ke arah kiblat. Lalu kita ucapkan “Allahu Akbar” pengakuan bahwa Allah-lah yang Maha Besar. Di saat itu, bukan hanya lidah yang berbicara. Hati pun harus seirama, menyadari kebesaran Allah melebihi segala hal termasuk diri sendiri, jabatan, atau dunia.
Imam Ibn Qayyim menegaskan bahwa seseorang tidak boleh datang menghadap Allah dengan membawa atribut duniawinya. Berdirilah sebagai الخَا ضِع, orang yang tunduk pasrah kepada Allah Subhanahu wa taala.
Berdirilah sebagai المِسْكِين, orang yang miskin di hadapan Allah Subhanahu wa ta'ala. Jadi berdiri sebagai orang yang hina karena memang tidak ada yang pantas, tidak ada yang layak untuk kita sombongkan di hadapan Allah. Inilah kondisi batin yang membentuk kekhusyukan. Kesombongan luluh, ego hancur, dan hati merunduk tunduk di hadapan Yang Maha Tinggi.
Takbiratul ihram itu ingin mengajarkan kita untuk melebur, menghancurkan segala bentuk kesombongan yang ada pada diri kita. Segala bentuk ego yang melekat pada diri kita. Maka ketika kita berdiri di hadapan Allah, lepaskan semua atribut-atribut yang bisa memberi kesan kesombongan itu.
Hal lain yang harus kita perhatikan adalah وَطَأَ قَلْبُهُ لِسَانَهُ فِي التَّكْبِير. “Allahu Akbar” bukan sekadar lafaz. Ia adalah kesadaran penuh bahwa tidak ada yang lebih besar dari Allah. Bila hati masih sibuk memikirkan urusan dunia sesaat setelah mengucapkannya, maka berarti kita sedang menempatkan urusan itu lebih besar dari Allah. Ini adalah bentuk pengabaian terhadap pengagungan yang seharusnya ditujukan kepada-Nya.
Imam Ibn Qayyim menyindir keadaan ini sebagai: كَانَ قَوْلُهُ "اللَّهُ أَكْبَرُ" بِلِسَانِهِ دُونَ قَلْبِهِ “Lidahnya berkata Allahu Akbar, tetapi hatinya tidak.”
Setelah takbiratul ihram, kita disunnahkan membaca doa iftitah. Meskipun sunah, doa iftitah adalah bentuk adab ubudiyah, mukadimah penghormatan sebelum kita menyampaikan permintaan kepada Allah. Pada saat itu kita memuji Allah dengan pujian yang layak disandingan kepada Allah subhanahu wata’ala.
اللّٰهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللّٰهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا Pujian ini adalah pujian yang layak kita sampaikan kepada Allah subhanu wata’ala. Sekaligus bermakna bahwa pujian-pujian semacam itu tidak layak, tidak pantas disandangkan kepada makhluk seperti kita.
Doa ini juga menjadi cara agar kita keluar dari kelalaian, karena ghaflah (kelalaian) adalah hijab antara kita dan Allah. Dalam sebuah hadis dikatakan, Rasulullah ﷺ bahkan memuji sahabat yang membaca doa iftitah dengan tulus.
Malaikat turun dari langi dan mengiyakan, mengaminkan doa yang kamu bacakan. Bukti bahwa doa iftitah membuka pintu rahmat dan keberkahan. Shalat fardu maupun shalat sunnah sebainya kita tidak meninggalkan doa iftitah Bahkan versi yang singkat pun, seperti: “سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ” sudah cukup sebagai bentuk penghormatan.
Doa iftitah itu membuat kita lebih diterima oleh Allah subhanahu wata’ala dalam pelaksanaan shalat kita, dibanding kita tidak membuka pertemuan kita dengan Allah itu dengan bahasa iftitah, bahasa pembuka. Lebih dari sekadar gerakan dan bacaan, salat yang benar akan mengubah karakter kita. Ia mengajarkan bahwa semua manusia setara di hadapan Allah.
Tidak layak bagi kita merasa lebih baik hanya karena jabatan atau kedudukan. Takbiratul ihram mengajarkan kita untuk memandang setiap orang sama di hadapan Allah subhanahu wata’ala.
Allah membedakan kita berdasarkan kualitas taqwa kita. اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمٌ “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa”. (Al-Ḥujurāt [49]:13) (NADIEN/Humas dan Media Masjid Istiqlal)