Khutbah Idulfitri Istiqlal 1446 H: Merawat Kemabruran Puasa

Insya Allah, spirit kemabruran Ramadan, seiring dengan tibanya Hari Raya Idul Fitri, akan terus menerangi negeri ini.

Share :
Khutbah Idulfitri Istiqlal 1446 H: Merawat Kemabruran Puasa
Berita

Oleh: Prof. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A. (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

 

Jakarta, www.istiqlal.or.id - Allahu akbar, Allahu akbar, walillahi al-hamdJemaah Idul Fitri yang berbahagiaTidak terasa, selama satu bulan lamanya, kitamenjalankan ibadah puasa Ramadan denganberbagai ritual mulia di dalamnya. Kita ditempamelalui serangkaian riyadhah ruhaniyyah sebagaiinstrumen mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Puasa Ramadan menempa kita menjadi hambayang otentik, yang tidak hanya berdimensipersonal namun juga berdimensi sosial. Otentisitasseorang hamba di hadapan Allah dimanifestasikanmelalui pikiran dan tindakan yang semata-matadiperuntukkan bagi kebaikan dan kemaslahatanbersama. 

Puasa tidak semata-mata menjadikan individu menjadi lebih baik, namun puasa juga mewujudkan tatanan sosial yang lebih maslahat. Puasa juga akan melahirkan pribadi-pribadi yang menghargai proses penempaan. 

Puasa akan membentuk pribadi, kelompok masyarakat, bahkan negara menjadi lebih baik. Hal ini akan menjadi modal spiritual dan sosial untuk melahirkan kebaikan kolektif yang berdampak positif di ruang publik. 

Jemaah Idul Fitri yang berbahagia Ruang publik yang baik akan berdampak pada keadaban publik yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dengan didasarkan pada keseimbangan dalam tata kelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Hal itu dapat kita lihat pada sebagian amaliah Ramadan, seperti zakat, infak, sedekah, serta praktik kedermawanan lainnya. Sikap kedermawanan, dengan demikian, menjadi instrumen afirmatif yang melahirkan dampak nyata pada aspek sosial, ekonomi, dan penegakan prinsip keadilan. 

Kedermawanan dalam Islam memberi pesan penting tentang spirit kebersamaan, gotongroyong, dan keberpihakan. Hal ini sejalan dengan pemikiran para pendiri bangsa kita ketika merumuskan pendirian negara ini, yakni dengan menitikberatkan pada tujuan bernegara, di antaranya: mewujudkan kesejahteraan umum. 

Kedermawanan Islam juga memberi pesan tentang sikap empatik yang menjadi instrumen penting dalam membangun soliditas dan solidaritas antarwarga negara. Data kuantitatif tentang capaian pengumpulan zakat di Indonesia terus mengalami tren peningkatan yang positif dari tahun ke tahun. Hal ini kian menguatkan posisi Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia, berdasarkan laporan The World Giving Index pada tahun 2024 yang lalu. 

Capaian kebaikan ini tentu saja harus kita kelola dengan baik dan efektif sebagai manifestasi dari komitmen kita dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana pesan dalam sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. 

Allahu akbar, Allahu akbar, walillahi al-hamd Keadaban publik sejatinya harus terus diikhtiarkan dan dimulai dari individu dan juga keluarga. Pembelajaran selama bulan Ramadan mengajarkan kita untuk membangun kohesivitas di tengah-tengah masyarakat, yang dimulai dari hal-hal yang sederhana, seperti: buka puasa bersama, sahur bersama, tarawih bersama, dan juga tadarus bersama. 

Pesan penting dari amaliah Ramadan adalah bahwa kohesivitas adalah “kata kerja”, bukan sekadar “kata-kata” atau hanya “omong-omong”, tetapi senantiasa harus diikhtiarkan secara bersungguh-sungguh. 

Kebersamaan selama bulan Ramadan sejatinya memberi makna penting bahwa keberkahan itu akan lahir dari kebersamaan dan persatuan, “Albarakah ma’a al-jama’ah”. 

Seperti yang kita sadari bersama bahwa untuk membangun negara Indonesia yang besar ini dibutuhkan persatuan dan kebersamaan dari seluruh elemen anak bangsa, dengan tetap mengakui keragaman latar belakang dan pandangan, yang secara sunnatullah memang diciptakan berbeda-beda. Persatuan dibangun melalui percakapan dan dialog untuk mencari titik temu yang menjadi titik tumpu dalam mewujudkan kemajuan bangsa. 

Para pendiri bangsa ini telah memberikan pelajaran dan teladan bahwa perbedaan pandangan tidak lantas menjadikan diksi diametral yakni “kami” dan “mereka”, tetapi tetap dalam bingkai “Kita Indonesia”. 

Kebiasaan baik selama Ramadan menjadi modal penting untuk meneruskan jejak kebaikan dari para pendiri bangsa dan para pendahulu negeri ini dalam menggalang persatuan demi terwujudnya kebaikan bersama, ya untuk mewujudkan almashalih al-‘ammah. 

Tentu saja, hal ini sejalan dengan visi Pemerintah kita saat ini, yang berkomitmen untuk terus memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan alam dan budaya, serta meningkatkan toleransi antar umat beragama dalam rangka mencapai masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. 

Jemaah Idul Fitri yang berbahagia Ramadan juga menguatkan tradisi tadarus alQur’an. Tadarus tidak dimaknai sekadar membaca teks atau tilawah an sich, tapi tadarus al-Qur’an juga menitikberatkan kepada aktivasi akal pikiran dalam melihat setiap fenomena yang ada di sekitar kita dalam bentuk ayat-ayat kawniyah. 

Budaya literasi selama Ramadan haruslah diteruskan dan dikembangkan di lembagalembaga pendidikan formal maupun non-formal untuk mewujudkan kemajuan bangsa Indonesia dan menyongsong Indonesia Emas tahun 2045.

Budaya literasi juga akan mempercepat akselerasi Indonesia untuk menjadi negara yang maju dan sejahtera. Ruang publik kita juga harus dipandu dengan ilmu pengetahuan di tengah arus informasi yang kian sulit membedakan antara fakta dan fiksi. 

Allahu akbar, Allahu akbar, walillahi al-hamd Atribusi Ramadan sebagai bulan penuh kemuliaan tidaklah bersifat taken for granted, tanpa ikhtiar yang sungguh-sungguh dari seorang hamba. Begitu pula predikat kembali kepada kesucian atau ‘id al-fithr pasca Ramadan juga bukan sekadar label tanpa makna. 

Kembali fitri akan terpancar pada pikiran, perilaku, dan tindakan setiap individu dalam membangun interaksi antara hamba dengan Tuhannya, maupun antar sesama. 

Pribadi-pribadi yang fitri pada titik paling ideal akan melahirkan kebaikan-kebaikan bagi lingkungannya. Seperti halnya kebutuhan menghadirkan ruang publik yang bebas dari korupsi harus terus kita ikhtiarkan bersama-sama. 

Puasa Ramadan mengajarkan kita untuk menahan diri dari hal-hal yang merusak atau bahkan membatalkan puasa. Maka spirit puasa sangat relevan dalam konteks mewujudkan kehidupan bernegara yang bebas dari korupsi. 

Oleh karena itu, spirit kemabruran puasa Ramadan harus jadi pemandu atau kompas untuk mewujudkan relasi individu, baik di ruang privat maupun di ruang publik. Inilah sejatinya esensi Idul Fitri yang kita rayakan pada hari ini.

Jemaah Idul Fitri yang berbahagia, Demikian pula spirit empatik yang disemai selama Ramadan harus terus ditumbuhkembangkan sebagai manifestasi dari spirit filantropi Islam. Tantangan kehidupan sosial dan ekonomi saat ini harus kita jawab dengan sikap empatik melalui gerakan dan program bersama, baik oleh individu, lembaga, maupun negara. 

Tentu saja, tanggung jawab ini harus kita pikul bersama dengan semangat ta’awanu ‘ala al-birri wa al-taqwa wa la ta’awanu ‘ala al-itsmi wa al-‘udwan. Kita harus saling mendukung dan membantu dalam kebaikan, bukan malah menegasikan kebaikan-kebaikan yang diikhtiarkan dengan sungguh-sungguh. 

Spirit empatik semestinya kian tumbuh dan berkembang pasca bulan Ramadan, bukan hanya muncul saat bulan Ramadan saja, setelah itu hilang dan terlupakan. Padahal, esensi Idul Fitri tidak lain adalah menumbuhkembangkan spirit kemabruran Ramadan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Jemaah Idul Fitri yang berbahagia Seyyed Hossein Nasr, dalam The Heart of Islam Enduring Values for Humanity, menegaskan bahwa doktrin Islam yang tertanam dalam batin masyarakat Muslim secara ideal dapat bertahan menghadapi tantangan-tantangan besar di era modern ini. 

Dengan demikian, maka kedudukan agama yang didasari oleh keyakinan terhadap Tuhan dapat menjadi instrumen sekaligus mekanisme yang sangat ampuh dalam merespons setiap tantangan zaman. 

Agama, yang memiliki dimensi profan sekaligus transenden harus ditransformasikan dan dikontekstualisasikan untuk menjawab berbagai persoalan di tengah-tengah masyarakat bangsa. 

Transformasi beragama, dengan demikian, menjadi pekerjaan rumah dari seluruh pemangku kepentingan, baik birokrat, agamawan, ilmuwan, maupun pemeluk agama. 

Upaya ini dimaksudkan agar keadaban personal yang terwujud dalam aneka bentuk ritualitas an sich berjalan linier dengan keadaban di ruang publik. Allahu akbar, Allahu akbar, walillahi al-hamd

Pada akhirnya, kefitrian yang telah kita raih harus terus kita ikhtiarkan agar menghadirkan kebaikan untuk semua. Kemabruran puasa Ramadan tidak hanya menjadikan individu yang salih, namun yang lebih penting adalah moralitas Ramadan akan menghadirkan kesalihan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

Harapan bagi terwujudnya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negeri yang makmur dan diberkahi, harus kita perjuangkan secara kontinu, konsisten, dan bersungguh-sungguh dengan spirit menghadirkan kebaikan bersama. 

Hadirin yang mulia, izinkah saya mengutip syair indah darui lagu yang berjudul “Lebaran” karya sang legenda, Ismail Marzuki: 

Setelah berpuasa satu bulan lamanya; 

Berzakat fitrah menurut perintah agama; 

Kini kita beridul fitri berbahagia; 

Mari kita berlebaran bersuka gembira; 

Berjabat tangan sambil bermaaf-maafan; 

Hilang dendam habis marah di hari lebaran; 

Minal ‘aidin wal faizin; Maafkan lahir dan batin; 

Selamat para pemimpin; Rakyatnya makmur terjamin.

Insya Allah, spirit kemabruran Ramadan, seiring dengan tibanya Hari Raya Idul Fitri, akan terus menerangi negeri ini. 

Indonesia tercinta akan tetap diterangi dengan kebaikan, kemuliaan, dan kesejahteraan, tentu saja dengan ikhtiar dan perjuangan yang dilakukan secara bersama-sama untuk mewujudkan negara Indonesia yang maju dan sejahtera dalam naungan ridha Allah Swt. Allahumma amin ya Rabb al-‘alamin. (FAJR/Humas dan Media Masjid Istiqlal)

Related Posts: